Perjalanan mudik kuisi dengan menemui beberapa aktivis Partai mulai dari mantan Pengurus Ranting, PAC, anggota Dewan serta fungsionaris PAC yang maassih aktif. Diskusiku dengan mereka mengiingaatkanku pada sebuah kritikan yang pernah saya lontarkan hampir satu dasawarsa lalu mengenai idologi senddok-garpu. Sendok dan garpu biasanya digunakan sebagai tanda untuk tempat makan, dus ”Ideologi sendok-garpu” menggambarkan kepada mereka-mereka yang berfaham “numpang urip” (numpang hidup). Menggunakan institusinya sebagai kendaraan pribadi untuk mencapai sebuah kemuliaan duniawi dengan mengatasnamakan “…untuk kepentingan rakyat”.
Saat-saat ini kita seringkali mendengar dan membaca diberbagai media, ada oknum-oknum politisi yang tersangkut dengan berbagai skandal korupsi, manipulasi, etc.. Di atas panggung politik, atas nama sebuah perjuangan, atas nama rakyat, dan atas nama sebuah keyakinan mereka mencoba menumpuk pundi-pundi. Jadi jangan heran kalo kemudian muncul apa yang disebut dengan “kere munggah bale” atau diterjemahkan sebagai orang papa (miskin hatinya, miskin imannya, dan miskin ideologinya) yang kemudian mendapatkan sebuah kemuliaan, namun menjadikan dirinya menjadi sosok yang congkak, sombong dan “kemaruk”. Memakan segala yang ada untuk kepuasan pribadi tanpa sedikitpun memperdulikan jargon-jargon yang pernah meluncur dari ujung bibirnya.
Tulisan ini sengaja saya tulis kembali untuk mengingatkan pada rekan-rekan yang akan menghadapi Pilkada Kota Jogjakarta. Semoga tidak ada Ideologi sendok-Garpu yang tersisa disana. Dengan demikian akan terpilih "jejering ratu adil" yang bissa ngayomi "kawulo alit" karena terpilih karena visi perjuangannya, bukan karena tebaran sendok-garpu-nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar