Senin, 06 September 2010

Menanggapi: Pertemuan Kinabalu 6 September 2010

Penangkapan anggota Departemen Kelaautan dan Perikanan (DKP) Indonesia oleh Polisi Diraja Malaysia menambah rentetan panjang konflik perbatasan dengan Negara jiran tersebut. Seperti di laporkan oleh DKP Indonesia bahwa penangkapan tersebut sebagai balasan pihak Malaysia atas ditangkapnya beberapa pencuri ikan yang menggunakan kapal berbendera Malaysia diwilayah perairan Indonesia. Dasar penangkapan anggota DKP tersebut adalah tuduhan dari Polis Diraja Malaysia bahwa kapal DKP telah melanggar batas wilayah perairan yang diklaim secara sepihak oleh Malaysia sebagai wilayahnya. Bahkan dengan kesombongannya Menlu Malaysia, Datuk Seri Anifah Aman menolak permintaan maaf atas insiden tersebut, tentulah hal ini menimbulkan reaksi di Tanah Air. Karena pernyataan Menlu Malaysia tersebut menyinggung perasaan bangsa Indonesia dan telah melanggar prinsip dalam hubungan bertetangga yang tercetus dalam kesepakaatan Malindo, yakni saling menjunjung pengertian (mutual understanding), saling menghormati (mutual respect), dan bertetangga dengan baik (good neighboring countries/neighborhood).

Masalah perbatasan antara Indonesia dengan Malaysia sejak republik ini berdiri sampai saat ini masih terdapat di lima titik. Satu titik terdapat di wilayah perbatasan darat antara Kalbar dan Sarawak, Malaysia Timur. Empat titik persoalan tapal batas lain terdapat di laut, yaitu Selat Malaka, Perairan Natuna, perairan Tanjung Datu (Kalbar), dan blok ambalat. Bahkan pada beberapa waktu yang lalu diperairan blok ambalat angkatan laut Indonesia telaah berhadapan dengan kapal perang Malaysia. Kapal perang Malaysia sempat memassuki perairan Indonesia dan melakukan manufer yang membahayakan kapal perang Indonesia.

Dalam kasus perbatasan Indonesia-Malaysia yang dijajah dua negara (Belanda di Indonesia dan Inggris di Malaysia), sebenarnya telah ada payung hukum yang sama. Yaitu, tiga perjanjian perbatasan yang dibuat dua pemerintah kolonial tersebut pada 1891, 1915, dan 1918. Produk hukum perjanjian perbatasan itu berisi titik koordinat, lokasi, serta tanda perbatasan dua negara. Secara teoretis, sebenarnya perjanjian tersebut telah memberikan gambaran final mengenai perbatasan dua negara itu. Hal tersebut diperkuat dengan fakta bahwa Belanda memasang patok-patok perbatasan negara, khususnya perbatasan darat (Kalimantan dengan Sarawak dan Sabah) secara manual. Untuk keperluan tersebut, petugas pemerintah Belanda berjalan kaki mulai ujung timur Kaltim sampai ujung barat Kalbar selama delapan tahun. Namun kenyataannya sekarang patok-patok tersebut sudah banyak yang hilang bahkan bergeser tempat akibat ulah perusahaan perkebunan Malaysia.

Dalam konteks ini, yang dibutuhkan oleh Indonesia adalah menyiapkan ahli-ahli diplomasi yang tidak hanya mengetahui hukum internasional. Pemerintah negeri ini juga harus menyiapkan ahli-ahli lain yang terkait dengan masalah tersebut dan melengkapi mereka dengan bukti-bukti yuridis, sejarah, dan fisik. Sebab, dalam pengalaman perundingan perbatasan, khususnya di Kalbar, Malaysia selalu ngotot membuat peta perbatasan secara sepihak. Sementara itu, dalam beberapa segmen yang sudah dituangkan dalam MoU, Indonesia kadang ceroboh. Karena itu, ketika diminta merevisi MoU, Malaysia menolak, khususnya di sepuluh titik di Kalbar. Dengan demikian, pembicaraan perbatasan oleh duanegara tersebut stagnan. Namun, sekali lagi, ironisnya, pada daerah-daerah "sengketa" tersebut Malaysia secara aktif dan efektif melakukan tindakan-tindakan kedaulatan. Misalnya, penangkapan aparat DKP yang diklaim di wilayah mereka. Kasus tersebut setidaknya memberikan dua pelajaran penting bagi Indonesia. Pertama, dalam mengklaim suatu batas wilayah negara yang diyakini benar, sebaiknya Indonesia bersikap tegas dan menggunakan prosedur hukum internasional dengan mendorong TNI sebagai pengawal di garda depan. Pengalaman berharga dari sikap tegas membela klaim perbatasan negara terlihat pada kasus perebutan Kuil Preahvihear antara Kamboja dan Thailand yang sama-sama mematok harga mati. Dalam konteks itu, yang perlu dilihat bukan kekerasan, melainkan sikap tegas dalam mempertahankan prinsip kedaulatan. Dalam menghadapi perundingan perbatasan antara Indonesia – Malaysia di Kinabalu 6 September ini Pemerintah harus balajar dari kasus hilangnya Sipadan-Linggitan, bila sampai Indonesia tidak mampu mengibarkan Sang Merah Putih di perbatasan yang disengketakan tersebut, saya sarankan kepada Menlu Marty Natalegawa untuk segera meletakkan jabatannya. Semoga Tuhan Menyertai Bangsa Indonesia.  MERDEKA !!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar