Minggu, 12 September 2010

Perjalan Mudik Lebaran: IDEOLOGI SENDOK GARPU

Perjalanan mudik kuisi dengan menemui beberapa aktivis Partai mulai dari mantan Pengurus Ranting, PAC, anggota Dewan serta fungsionaris PAC yang maassih aktif. Diskusiku dengan mereka mengiingaatkanku pada sebuah kritikan yang pernah saya lontarkan hampir satu dasawarsa lalu mengenai idologi senddok-garpu. Sendok dan garpu biasanya digunakan sebagai tanda untuk tempat makan, dus ”Ideologi sendok-garpu” menggambarkan kepada mereka-mereka yang berfaham “numpang urip” (numpang hidup). Menggunakan institusinya sebagai kendaraan pribadi untuk mencapai sebuah kemuliaan duniawi dengan mengatasnamakan “…untuk kepentingan rakyat”.


Saat-saat ini kita seringkali mendengar dan membaca diberbagai media, ada oknum-oknum politisi yang tersangkut dengan berbagai skandal korupsi, manipulasi, etc.. Di atas panggung politik, atas nama sebuah perjuangan, atas nama rakyat, dan atas nama sebuah keyakinan mereka mencoba menumpuk pundi-pundi. Jadi jangan heran kalo kemudian muncul apa yang disebut dengan “kere munggah bale” atau diterjemahkan sebagai orang papa (miskin hatinya, miskin imannya, dan miskin ideologinya) yang kemudian mendapatkan sebuah kemuliaan, namun menjadikan dirinya menjadi sosok yang congkak, sombong dan “kemaruk”. Memakan segala yang ada untuk kepuasan pribadi tanpa sedikitpun memperdulikan jargon-jargon yang pernah meluncur dari ujung bibirnya.

Pemilu Kepala Daerah 2010 sebentar lagi terhampar, "ideologi sendok-garpu" mungkin masih tersisa disana. Dan sudah seharusnya kader-kader Partai yang memiliki Idealisme harus bisa mewaspadainya. Jangan sampai idealisme dan ideology yang menjadi keyakinan kita ditukar dengan pundi-pundi dan materi. Bagaimanapun kita perlu  mengingat tulisan seorang pujangga besar di jamannya, Ki Ronggowarsito. “Iki jamane jaman edan, sing ora edan ora keduman. Ning luwih becik wong sing eling lan waspodho”.

Tulisan ini sengaja saya tulis kembali untuk mengingatkan pada rekan-rekan yang akan menghadapi Pilkada Kota Jogjakarta. Semoga tidak ada Ideologi sendok-Garpu yang tersisa disana. Dengan demikian akan terpilih "jejering ratu adil" yang bissa ngayomi "kawulo alit" karena terpilih karena visi perjuangannya, bukan karena tebaran sendok-garpu-nya.

Selasa, 07 September 2010

LENYAPKAN STERILITEIT DALAM TUBUH GERAKAN MAHASISWA

Amanat PJM Presiden Soekarno pada Konferensi Besar GMNI di Kaliurang Jogjakarta, 17 Februari 1959.




Terlebih dahulu saya mengucapkan selamat dengan Konferensi Besar GMNI ini. Dengan gembira saya membaca, bahwa asas tujuan GMNI adalah Marhaenisme.

Apa sebab saya gembira?

Tidak lain dan tidak bukan, karena lebih dari 30 tahun yang lalu saya juga pernah memimpin suatu gerakan rakyat—- suatu partai politik—- yang asasnya pun adalah Marhaenisme.

Bagi saya asas Marhaenisme adalah suatu asas yang paling cocok untuk gerakan rakyat di Indonesia.
Rumusannya adalah sebagai berikut:
Marhaenisme adalah asas, yang menghendaki susunan masyarakat dan Negara yang didalam segala halnya menyelamatkan kaum Marhaen.
Marhaenisme adalah cara perjuangan yang revolusioner sesuai dengan watak kaum Marhaen pada umumnya.
Marhaenisme adalah dus asas dan cara perjuangan “tegelijk”, menuju kepada hilangnya kapitalisme, imprealisme dan kolonialisme.

Secara positif, maka Marhaenisme saya namakan juga sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi; karena nasionalismenya kaum Marhaen adalah nasionalisme yang sosial bewust dan karena demokrasinya kaum Marhaen adalah demokrasi yang social bewust pula.
Dan siapakah yang saya namakan kaum Marhaen itu?
Yang saya namakan Marhaen adalah setiap rakyat Indonesia yang melarat atau lebih tepat: yang telah dimelaratkan oleh setiap kapitalisme, imprealisme dan kolonialisme.
Kaum Marhaen ini terdiri dari tiga unsur:
Pertama : Unsur kaum proletar Indonesia (buruh)
Kedua : Unsur kaum tani melarat Indonesia, dan
Ketiga : kaum melarat Indonesia yang lain-lain.
Dan siapakah yang saya maksud dengan kaum Marhaenis? Kaum Marhaenis adalah setiap pejuang dan setiap patriot Bangsa.
Yang mengorganisir berjuta-juta kaum Marhaen itu, dan
Yang bersama-sama dengan tenaga massa Marhaen itu hendak menumbangkan sistem kapitalisme, imprealisme, kolonialisme, dan
Yang bersama-sama dengan massa Marhaen itu membanting tulang untuk membangun Negara dan masyarakat, yang kuat, bahagia sentosa, adil dan makmur.

Pokoknya ialah, bahwa Marhaenis adalah setiap orang yang menjalankan Marhaenisme seperti yang saya jelaskan di atas tadi.Camkan benar-benar!: setiap kaum Marhaenis berjuang untuk kepentingan kaum Marhaen dan bersama-sama kaum Marhaen!

Apa sebab pengertian tentang Marhaenisme, Marhaen dan Marhaenis itu saya kemukakan kepada Konferensi Besar GMNI dewasa ini?

Karena saya tahu, bahwa dewasa ini ada banyak kesimpangsiuran tentang tafsir pengertian kata-kata Marhaenisme, Marhaen dan Marhaenis itu.

Saya harapkan mudah-mudahan kata sambutan saya ini saudara camkan dengan sungguh-sungguh, dan saudara praktikkan sebaik-baiknya, tidak hanya dalam lingkungan dunia kecil mahasiswa, tetapi juga di dunia besar daripada massa Marhaen.

Sebab tanpa massa Marhaen, maka gerakanmu akan menjadi steril!

Karena itu:
Lenyapkan sterilitiet dalam Gerakan Mahasiswa!
Nyalakan terus obor kesetiaan terhadap kaum Marhaen!
Agar semangat Marhaenisme bernyala-nyala murni!
Dan agar yang tidak murni terbakar mati!

Sekian dulu, dan sekali lagi saya ucapkan selamat kepada Konferensi Besar GMNI, dan mudah-mudahan berhasilah Konferensi Besar ini.



Jakarta, 17 Februari 1959

PRESIDEN/PANGLIMA TERTINGGI/

PEMIMPIN BESAR REVOLUSI

SUKARNO

BAPAK MARHAENISME

Soekarno Menggugat

Oleh Asvi Warman Adam

TIDAK banyak diketahui umum bahwa pada kurun waktu 1965 - 1967 Presiden Soekarno sempaat berpidato paling sedikit sebanyak 103 kali. Yang diingat orang hanyalah pidato pertanggungjawabannya, Nawaksara, yang ditolah MPRS tahun 1967. Kumpulan naskah diawali pidato 30 September 1965 malam (didepan Musyawarah Nasional Teknik di Istora Senayan, Jakarta) dan diakhiri pidato 15 Februaari 1967 (pelantikan beberapa Duta Besar RI). Pidato-pidato Bung Karno selama dua tahun itu amat berharga sebagai sumber sejarah. Ada hal yang telaah ditutupi ataau diputarbalikkan selama Orde Baru. Darii pidato tersebut juga tergambar betapa sengitnya peralihan dari Bung Karno ke Soeharto. Dipihak lain adapula kegetiran seorang Presiden yang ucapannya ttiidak didengar bahkan dipelintir. Bung Karno marah, ia berucap dalam bahasa Belanda.

Konteks Pidato
Periode 1965-1967 dapat dilihat sebagai masa peralihan kekuasaan dari Bung Karno ke tangan Soeharto. Dalam versi Pemerintah ORBA masa ini dilukiskan sebagai era konsolidasi kekuatan pendukung ORBA untuk membasmi PKI sampai keakar-akarnya serta membersihkan para pendukung Bung Karno.
Mulai tahun 1998 di Tanah Air dikenal beberapa versi sejarah yang berbeda. Selain memunculkan keterlibatan pihak asing seperti CIA juga muncul berita adanya kudeta merangkak yang dilakukan oleh Soeharto, yang terangkai dari awal Oktober 1965 sampai keluarnya Supersemar dan ditetapkannya Soeharto sebagai pejabat Presiden tahun 1967.

Substansi Pidato
Setelah peristiwa G30S, Bung Karno berusaha mengendaikan keaddaan melalui pidato-pidatonya. "Saya komandokan kepada segenap aparat negara untuk selalu membina persatuan dan kesatuan seluruh kekuatan progresif revolusioner. Dua, menyingkkirkan jauh-jauh tindakan-tindakan destruktif seperti rasialisme,pembakaran-pembakaran, dan perusakan-perusakan. Tiga, menyingkirkan jauh-jauh fitnahan-fitnahan dan tindakan-tindakan atas dasar peerasaan balas dendam".
Beliau juga menyerukan "Awas adu domba antar angkatan, jangan mau dibakar. Jangan gontok-gontokan. Jangaan hiilaang akal. Jangan ditunggangi". Dalam pidatonya pula beliau menyinggung Trade Commision RRT di Jati Petamburan yang diserbu masa karena muncul issue Pak Juanda meninggal karena diracun dokter RRT, padahal beliau meninggal karena serangan jantung. Bung Karno menentang rassialisme yang menjadikan warga Tionghoa sebagai kambing hitam.
Dalam pidato Bung Karno 20 November 1965 didepan keempat panglima empat angkatan di Istana Bogor, Bung Karno mengatakan, "Ada perwira yang bergudul. Bergudul itu apa? Hei, Bung apa itu bergudul? Ya, kepala batu!!!" Tampaknya ucapan Bung Karno ini ditujukan kepada Soeharto. Pada kesempatan yang sama Bung Karno menegaskan :"Saya ditunjuk MPRS menjadi Panglima Besar Revolusi. Terus terang bukan Soebandrio. Bukan Leimeina....Bukan engkau Soeharto, Bukan engkau Soeharto...." (Berbeda dengan tokoh lain nama Soeharto dissebut dua kali dan secara berturut-turut).
Mengapa Bung Karno menolak membubarkan PKI, padahal alasan ini yang digunakan kelompok Soeharto untuk menjatuhkkan Presiden Soekarno. Karena Bung Karno konsisten dengan apa yang menjadi prinsipnya sejak 1925 Nas (Nasionalisme), A (Agama) dan Kom (Komunisme). Dalam pidatonya Bung Karno menegaskan bahwa yang dimakssud Kom bukanlah komunisme dalam pengertian sempit. Melainkan adalah Marxisme atau lebih tepatnya "Sosialisme". Bung Karno juga mengungkapkan keterlibatan pihak asing yang memberi orang Indonesia uang Rp. 150 juta guna mengembangkan "the free world ideology". Ia berseru didepan diplomat asing di Jakarta, "Ambassador jangan subversi".
Tanggal 12 Desember 1965 ketika berpidato dalam rangka ketika Bung Karno berpidato dalam rangka ulang tahun Kantor Berita Antara di Bogor, Bung Karno mengatakan tidak ada kemaluan yang dipotong dalam peristiwa lubang buaya, demikian pula tidak ada mata yang dicungkil sebagaimana laporan hasil otopsi. Tapi pers menuliskan berita yang sebaliknya terutama Berita Yudha dan Harian AB.
Peristiwa pembantaian di Jawwa Timur, Bung Karno mengungkapkan dalam pidato didepan HMI di Bogor 18 Desember 1965, bahwa pembunuhan tersebut dilakukan dengan sadis bahkan ada ancaman kalau sampai ngerumat jenazah tersebut maka akan dibunuh juga. Bung Karno marah besar, karena kewajiban orang muslim bila ada saudaranya meninggal harus dirumat. "Jenazah itu diklelerkan saja di bawah pohon, dipinggir sungai, dilempar bagai bangkai anjing yang sudah mati".

Dibalik Pidato
Apa yang dissampaikan Bung Karno dalam pidato-pidatonya merupakan bantahan dari apa yang telah dituliskan pers. Monopoli informasi sekaligus monopoli kebenaran adalah causa prima dari ORBA. Umar Wirahadikusumah mengumumkan jam malam mulai jam 1 Oktober 1965 pukul 18.00 sampaai 06.00 pagi dan menutup semua koran kecuali Harian Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha, koran-koran lain tidak boleh beredar selama sepekan. Waktu yang sepekan itulah digunakan oleh pers militer pendukung ORBA untuk membuat kabar tentang G30S dan PKI ssebagai dalang.
Meski maasih berpidato dalam berbagai kesempatan tetapi pernyataan Bung Karno tidak pernah disiarkan oleh pers. Dalam pidatonya pula Bung Karno mempertanyakan tentang orang-orang yang di ketahui mendukungnya di Departemen P & K semua di nonaktifkan.
Bung Karno masih sempaat melantiikk taruna AAU dan berpidato dalam peringatan 20 tahun KKO. Paling sedikit Angkatan Udara, Marinir, dan sebagian tentara Kodam Brawijaya masih setia dibelakang Bung Karno . Namun Bung Karno tidak memerintahkan tentara yang loyal padanya untuk melawan balik pihak yang ingiin menjatuhkannya. "Jangan gontok-gontokan antar angkatan bersenjata". Intinya Bung Karno tidak ingin terjadi pertumpahan darah sesama anak bangsa.


Dirangkum dan dissadur dari Kompaas 6 Juni 2003

Senin, 06 September 2010

Menanggapi: Pertemuan Kinabalu 6 September 2010

Penangkapan anggota Departemen Kelaautan dan Perikanan (DKP) Indonesia oleh Polisi Diraja Malaysia menambah rentetan panjang konflik perbatasan dengan Negara jiran tersebut. Seperti di laporkan oleh DKP Indonesia bahwa penangkapan tersebut sebagai balasan pihak Malaysia atas ditangkapnya beberapa pencuri ikan yang menggunakan kapal berbendera Malaysia diwilayah perairan Indonesia. Dasar penangkapan anggota DKP tersebut adalah tuduhan dari Polis Diraja Malaysia bahwa kapal DKP telah melanggar batas wilayah perairan yang diklaim secara sepihak oleh Malaysia sebagai wilayahnya. Bahkan dengan kesombongannya Menlu Malaysia, Datuk Seri Anifah Aman menolak permintaan maaf atas insiden tersebut, tentulah hal ini menimbulkan reaksi di Tanah Air. Karena pernyataan Menlu Malaysia tersebut menyinggung perasaan bangsa Indonesia dan telah melanggar prinsip dalam hubungan bertetangga yang tercetus dalam kesepakaatan Malindo, yakni saling menjunjung pengertian (mutual understanding), saling menghormati (mutual respect), dan bertetangga dengan baik (good neighboring countries/neighborhood).

Masalah perbatasan antara Indonesia dengan Malaysia sejak republik ini berdiri sampai saat ini masih terdapat di lima titik. Satu titik terdapat di wilayah perbatasan darat antara Kalbar dan Sarawak, Malaysia Timur. Empat titik persoalan tapal batas lain terdapat di laut, yaitu Selat Malaka, Perairan Natuna, perairan Tanjung Datu (Kalbar), dan blok ambalat. Bahkan pada beberapa waktu yang lalu diperairan blok ambalat angkatan laut Indonesia telaah berhadapan dengan kapal perang Malaysia. Kapal perang Malaysia sempat memassuki perairan Indonesia dan melakukan manufer yang membahayakan kapal perang Indonesia.

Dalam kasus perbatasan Indonesia-Malaysia yang dijajah dua negara (Belanda di Indonesia dan Inggris di Malaysia), sebenarnya telah ada payung hukum yang sama. Yaitu, tiga perjanjian perbatasan yang dibuat dua pemerintah kolonial tersebut pada 1891, 1915, dan 1918. Produk hukum perjanjian perbatasan itu berisi titik koordinat, lokasi, serta tanda perbatasan dua negara. Secara teoretis, sebenarnya perjanjian tersebut telah memberikan gambaran final mengenai perbatasan dua negara itu. Hal tersebut diperkuat dengan fakta bahwa Belanda memasang patok-patok perbatasan negara, khususnya perbatasan darat (Kalimantan dengan Sarawak dan Sabah) secara manual. Untuk keperluan tersebut, petugas pemerintah Belanda berjalan kaki mulai ujung timur Kaltim sampai ujung barat Kalbar selama delapan tahun. Namun kenyataannya sekarang patok-patok tersebut sudah banyak yang hilang bahkan bergeser tempat akibat ulah perusahaan perkebunan Malaysia.

Dalam konteks ini, yang dibutuhkan oleh Indonesia adalah menyiapkan ahli-ahli diplomasi yang tidak hanya mengetahui hukum internasional. Pemerintah negeri ini juga harus menyiapkan ahli-ahli lain yang terkait dengan masalah tersebut dan melengkapi mereka dengan bukti-bukti yuridis, sejarah, dan fisik. Sebab, dalam pengalaman perundingan perbatasan, khususnya di Kalbar, Malaysia selalu ngotot membuat peta perbatasan secara sepihak. Sementara itu, dalam beberapa segmen yang sudah dituangkan dalam MoU, Indonesia kadang ceroboh. Karena itu, ketika diminta merevisi MoU, Malaysia menolak, khususnya di sepuluh titik di Kalbar. Dengan demikian, pembicaraan perbatasan oleh duanegara tersebut stagnan. Namun, sekali lagi, ironisnya, pada daerah-daerah "sengketa" tersebut Malaysia secara aktif dan efektif melakukan tindakan-tindakan kedaulatan. Misalnya, penangkapan aparat DKP yang diklaim di wilayah mereka. Kasus tersebut setidaknya memberikan dua pelajaran penting bagi Indonesia. Pertama, dalam mengklaim suatu batas wilayah negara yang diyakini benar, sebaiknya Indonesia bersikap tegas dan menggunakan prosedur hukum internasional dengan mendorong TNI sebagai pengawal di garda depan. Pengalaman berharga dari sikap tegas membela klaim perbatasan negara terlihat pada kasus perebutan Kuil Preahvihear antara Kamboja dan Thailand yang sama-sama mematok harga mati. Dalam konteks itu, yang perlu dilihat bukan kekerasan, melainkan sikap tegas dalam mempertahankan prinsip kedaulatan. Dalam menghadapi perundingan perbatasan antara Indonesia – Malaysia di Kinabalu 6 September ini Pemerintah harus balajar dari kasus hilangnya Sipadan-Linggitan, bila sampai Indonesia tidak mampu mengibarkan Sang Merah Putih di perbatasan yang disengketakan tersebut, saya sarankan kepada Menlu Marty Natalegawa untuk segera meletakkan jabatannya. Semoga Tuhan Menyertai Bangsa Indonesia.  MERDEKA !!!

Jumat, 03 September 2010

Hebatnya Negara Gotong Royong

Dalam salah satu pasal dari UUD1945 "Bumi langit dan seisinya,dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Di lapangan politik sosialisme haruslah berarti kekuasaan politik di tangan rakyat, dalam arti yang sesungguh-sungguhnya, kedaulatan rakyat yang bukan hanya semboyan, tetapi kenyataan. Jika tidak ada, maka pastilah akan terjadi apa yang dikatakan Jean Jaures seperti yang dikutip oleh Bung Karno dalam pidato “Lahirnja Pantja Sila”,yaitu: “Wakil rakyat yang mempunyai hak politik itu di dalam parlemen dapat menjatuhkan minister. Ia seperti raja! Tetapi di dalam dia punya tempat bekerja, di dalam pabrik, sekarang ia menjatuhkan minister, besok dia dapat dilemparkan ke jalan raya, dibikin werkloos, tidak dapat makan suatu apa”. Jika seperti yang dikatakan Jean Jaures dan Bung Karno ini masih terjadi, itu tandanya masyarakat masih berada dalam susunan kapitalis, betapa pun demokratisnya, dan belum berada dalam susunan sosialis! Boleh dikata Pancasila sebagai falsafah hidup dari Bangsa Indonesia sudah menetapkan bahwa “Revolusi Indonesia" harus mendirikan kekuasaan gotong royong, kekuasaan demokratis yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan, yang menjamin terkonsentrasinya seluruh kekuatan nasional, seluruh kekuatan rakyat”. Kekuasaan gotong-royong yang menjamin terkonsentrasikannya seluruh kekuatan nasional, seluruh kekuatan rakyat. Argumentasi bagi garis manifestasi politik ini bahkan sudah diberikan Bung Karno Enampuluh emapat tahun yang lalu dalam pidato “Lahirnja Pantja Sila”, yang antara lain berbunyi: “Jikalau saya peras yang lima (Pancasila) menjadi tiga, dan tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan 'gotong royong'. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong royong! Alangkah hebatnya! Negara Gotong Royong!” Demikianlah Bung Karno merumuskan cita-citanya.




Krisis ekonomi global yang melanda banyak negara saat ini, kemiskinan, angka pengangguran yang semakin membengkak, semuanya akan teratasi jikalau kita bisa saling bahu membahu, bergotong royong. "Yes we can!" sebagaimana jargon Barack Obama. Yang kita butuhkan saat ini adalah sosok negarawan yang mampu membawa rakyat masuk kedalam gerbangnya kemerdekaan. Negarawan yang mampu menjabarkan prinsip gotong royong sebagaimana cita-cita Bung Karno. Bukan seorang jagoan politik yang berbusa-busa saat membutuhkan banyak suara.

Sejarah: Ganyang Malaysia!

Pada 1961, Kalimantan dibagi menjadi empat administrasi. Kalimantan, sebuah provinsi di Indonesia, terletak di selatan Kalimantan. Di utara adalah Kerajaan Brunei dan dua koloni Inggris; Sarawak dan Britania Borneo Utara, kemudian dinamakan Sabah. Sebagai bagian dari penarikannya dari koloninya di Asia Tenggara, Inggris mencoba menggabungkan koloninya di Kalimantan dengan Semenanjung Malaya untuk membentuk Malaysia.

Rencana ini ditentang oleh Pemerintahan Indonesia; Presiden Soekarno berpendapat bahwa Malaysia hanya sebuah boneka Inggris, dan konsolidasi Malaysia hanya akan menambah kontrol Inggris di kawasan ini, sehingga mengancam kemerdekaan Indonesia. Filipina juga membuat klaim atas Sabah, dengan alasan daerah itu memiliki hubungan sejarah dengan Filipina melalui Kepulauan Sulu.

Di Brunei, Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU) memberontak pada 8 Desember 1962. Mereka mencoba menangkap Sultan Brunei, ladang minyak dan sandera orang Eropa. Sultan lolos dan meminta pertolongan Inggris. Dia menerima pasukan Inggris dan Gurkha dari Singapura. Pada 16 Desember, Komando Timur Jauh Inggris (British Far Eastern Command) mengklaim bahwa seluruh pusat pemberontakan utama telah diatasi, dan pada 17 April 1963, pemimpin pemberontakan ditangkap dan pemberontakan berakhir.

Filipina dan Indonesia resminya setuju untuk menerima pembentukan Malaysia apabila mayoritas di daerah yang ribut memilihnya dalam sebuah referendum yang diorganisasi oleh PBB. Tetapi, pada 16 September, sebelum hasil dari pemilihan dilaporkan. Malaysia melihat pembentukan federasi ini sebagai masalah dalam negeri, tanpa tempat untuk turut campur orang luar, tetapi pemimpin Indonesia melihat hal ini sebagai perjanjian yang dilanggar dan sebagai bukti imperialisme Inggris.

“ Sejak demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur, ketika para demonstran menyerbu gedung KBRI, merobek-robek foto Soekarno, membawa lambang negara Garuda Pancasila ke hadapan Tunku Abdul Rahman—Perdana Menteri Malaysia saat itu—dan memaksanya untuk menginjak Garuda, amarah Soekarno terhadap Malaysia pun meledak. ”

Soekarno yang murka karena hal itu mengutuk tindakan Tunku yang menginjak-injak lambang negara Indonesia dan ingin melakukan balas dendam dengan melancarkan gerakan yang terkenal dengan GANYANG MALAYSIA!

Soekarno menyaatakan PERANG!

Pada 20 Januari 1963, Menteri Luar Negeri Indonesia Soebandrio mengumumkan bahwa Indonesia mengambil sikap bermusuhan terhadap Malaysia. Pada 12 April, sukarelawan Indonesia (sepertinya pasukan militer tidak resmi) mulai memasuki Sarawak dan Sabah untuk menyebar propaganda dan melaksanakan penyerangan dan sabotase. Pada 27 Juli, Sukarno mengumumkan bahwa dia akan meng-"ganyang Malaysia". Pada 16 Agustus, pasukan dari Rejimen Askar Melayu DiRaja berhadapan dengan lima puluh gerilyawan Indonesia.

Meskipun Filipina tidak turut serta dalam perang, mereka memutuskan hubungan diplomatik dengan Malaysia.

Federasi Malaysia resmi dibentuk pada 16 September 1963. Brunei menolak bergabung dan Singapura keluar di kemudian hari.

Ketegangan berkembang di kedua belah pihak Selat Malaka. Dua hari kemudian para kerusuhan membakar kedutaan Britania di Jakarta. Beberapa ratus perusuh merebut kedutaan Singapura di Jakarta dan juga rumah diplomat Singapura. Di Malaysia, agen Indonesia ditangkap dan massa menyerang kedutaan Indonesia di Kuala Lumpur.

Di sepanjang perbatasan di Kalimantan, terjadi peperangan perbatasan; pasukan Indonesia dan pasukan tak resminya mencoba menduduki Sarawak dan Sabah, dengan tanpa hasil.

Pada 1964 pasukan Indonesia mulai menyerang wilayah di Semenanjung Malaya. Di bulan Agustus, enam belas agen bersenjata Indonesia ditangkap di Johor. Aktivitas Angkatan Bersenjata Indonesia di perbatasan juga meningkat. Tentera Laut DiRaja Malaysia mengerahkan pasukannya untuk mempertahankan Malaysia. Tentera Malaysia hanya sedikit saja yang diturunkan dan harus bergantung pada pos perbatasan dan pengawasan unit komando. Misi utama mereka adalah untuk mencegah masuknya pasukan Indonesia ke Malaysia. Sebagian besar pihak yang terlibat konflik senjata dengan Indonesia adalah Inggris dan Australia, terutama pasukan khusus mereka yaitu Special Air Service(SAS). Tercatat sekitar 2000 pasukan khusus Indonesia (Kopassus) tewas dan 200 pasukan khusus Inggris/Australia (SAS) juga tewas setelah bertempur dibelantara kalimantan (Majalah Angkasa Edisi 2006).

Pada 17 Agustus pasukan terjun payung mendarat di pantai barat daya Johor dan mencoba membentuk pasukan gerilya. Pada 2 September 1964 pasukan terjun payung didaratkan di Labis, Johor. Pada 29 Oktober, 52 tentara mendarat di Pontian di perbatasan Johor-Malaka dan ditangkap oleh pasukan Resimen Askar Melayu DiRaja dan Selandia Baru dan bakinya ditangkap oleh Pasukan Gerak Umum Kepolisian Kerajaan Malaysia di Batu 20, Muar, Johor.

Ketika PBB menerima Malaysia sebagai anggota tidak tetap. Sukarno menarik Indonesia dari PBB pada tanggal 20 Januari 1965 dan mencoba membentuk Konferensi Kekuatan Baru (Conference of New Emerging Forces, Conefo) sebagai alternatif.

Sebagai tandingan Olimpiade, Soekarno bahkan menyelenggarakan GANEFO (Games of the New Emerging Forces) yang diselenggarakan di Senayan, Jakarta pada 10-22 November 1963. Pesta olahraga ini diikuti oleh 2.250 atlet dari 48 negara di Asia, Afrika, Eropa dan Amerika Selatan, serta diliput sekitar 500 wartawan asing.

Pada Januari 1965, Australia setuju untuk mengirimkan pasukan ke Kalimantan setelah menerima banyak permintaan dari Malaysia. Pasukan Australia menurunkan 3 Resimen Kerajaan Australia dan Resimen Australian Special Air Service. Ada sekitar empat belas ribu pasukan Inggris dan Persemakmuran di Australia pada saat itu. Secara resmi, pasukan Inggris dan Australia tidak dapat mengikuti penyerang melalu perbatasan Indonesia. Tetapi, unit seperti Special Air Service, baik Inggris maupun Australia, masuk secara rahasia (lihat Operasi Claret). Australia mengakui penerobosan ini pada 1996.

Pada pertengahan 1965, Indonesia mulai menggunakan pasukan resminya. Pada 28 Juni, mereka menyeberangi perbatasan masuk ke timur Pulau Sebatik dekat Tawau, Sabah dan berhadapan dengan Resimen Askar Melayu Di Raja dan Kepolisian North Borneo Armed Constabulary.